Antara Solidaritas, Adrenalin, dan Pencarian Identitas
Baca juga : Kreatifitas orasi anak STM bengkel sampai DPR
Baca juga : Puan Maharani Trah Politik Soekarno RI
Baca juga : KATANYA HEMAT ANGGARAN KEUANGAN DPR ?

Fenomena keterlibatan anak STM/SMK dalam demonstrasi kembali mencuat setelah aksi 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR/MPR RI. Dari 351 orang yang diamankan polisi, 196 adalah pelajar atau anak di bawah umur. Mereka kemudian dipulangkan setelah didata dan mendapat pendampingan dari KPAI serta Dinas Sosial. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa pelajar STM/SMK sering muncul di garis depan aksi, apa pola pikir mereka, dan bagaimana seharusnya negara serta masyarakat menyikapinya?
Mengapa anak STM/SMK sering ikut demo?
Jawaban utamanya terletak pada solidaritas kelompok dan ajakan teman. Bagi pelajar SMK, rasa kebersamaan angkatan dan jurusan sangat kuat. Ketika ada satu atau dua teman yang mengajak, yang lain sering ikut tanpa banyak berpikir. Di sisi lain, ada dorongan mencari pengalaman baru dan tantangan. Demo dipandang sebagai arena seru yang penuh adrenalin, sehingga banyak anak ikut karena faktor emosional, bukan pemahaman politik yang matang.
2. Apakah mereka memahami isu yang didemokan?
.jpeg)
http://www.innatonoyan.com
Sebagian besar tidak sepenuhnya memahami substansi. Laporan KPAI setelah aksi 25 Agustus 2025 menunjukkan banyak pelajar datang hanya karena diajak atau melihat konten di media sosial, bukan karena mengerti detail putusan MK atau tuntutan aksi. Namun, penting dicatat: ada benih kepedulian. Beberapa anak mengatakan ikut karena ingin “Indonesia lebih baik.” Benih ini belum matang, tetapi bisa diarahkan ke jalur partisipasi sipil yang lebih sehat.
3. Bagaimana peran media sosial dalam fenomena ini?
Media sosial adalah faktor akselerator terbesar. TikTok, Instagram, dan grup WhatsApp sekolah menjadi kanal utama ajakan demo. Pola pikir anak STM/SMK di sini dipengaruhi oleh:
- FOMO (fear of missing out): takut ketinggalan momen viral.
- Eksistensi digital: ingin merekam konten di lokasi aksi, lalu diposting untuk mendapat pengakuan.
- Normalisasi aksi: karena banyak video serupa beredar, demo tampak seperti kegiatan biasa, bukan aksi serius dengan risiko besar.
4. Apakah demo oleh anak melanggar hukum?
Secara hukum, tidak otomatis melanggar.
- Pasal 28E UUD 1945 menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
- UU No. 9 Tahun 1998 mengatur tata cara penyampaian pendapat di muka umum.
Namun, karena mereka masih anak-anak, berlaku UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak, yang mewajibkan negara, sekolah, dan orang tua melindungi anak dari situasi berisiko. Artinya, pendekatan yang tepat adalah pendampingan dan edukasi, bukan kriminalisasi.
5. Apa yang membuat STM/SMK lebih sering ikut demo ketimbang SMA?
Ada tiga faktor utama:
- Solidaritas kuat: ikatan antarjurusan dan antarangkatan di SMK cenderung lebih solid.
- Kultur praktikal: terbiasa kerja bengkel/lapangan membuat mereka percaya diri menghadapi situasi fisik keras.
- Identitas historis: sejak demo 2019, STM lekat dengan citra “garda depan demo”. Identitas ini menumbuhkan kebanggaan kolektif, seolah turun ke jalan adalah tradisi keberanian anak STM.

6. Bagaimana reaksi orang tua?
Banyak orang tua kaget. Kasus di Jakarta menunjukkan sejumlah orang tua baru mengetahui anaknya ikut demo setelah dihubungi sekolah atau aparat. Ada pelajar yang mengaku hanya “diajak nongkrong” namun akhirnya terbawa ke lokasi aksi. Ini menunjukkan adanya celah komunikasi antara anak dan orang tua di momen krusial.
7. Apa risiko yang mereka hadapi?
- Fisik: potensi terkena gas air mata, dorong-dorongan, hingga luka akibat bentrokan.
- Psikologis: trauma jika menyaksikan atau mengalami kekerasan.
- Akademik: bolos sekolah, potensi sanksi, atau terganggunya konsentrasi belajar.
Risiko ini kerap tidak disadari anak sebelum mereka ikut serta, karena pola pikir yang dominan adalah “seru dan kompak” ketimbang analisis risiko.
8. Bagaimana aparat menangani pelajar yang ikut demo?
Dalam kasus 25 Agustus 2025, polisi memilih memulangkan pelajar setelah pendataan, dengan melibatkan KPAI dan Dinas Sosial. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip perlindungan anak, meski tetap ada catatan bahwa anak perlu diedukasi agar tidak lagi terjebak dalam situasi berbahaya.
9. Apakah semua anak STM ikut karena ikut-ikutan?

Tidak selalu. Ada spektrum motivasi:
- Ikut-ikutan teman (mayoritas).
- Cari pengalaman & adrenalin.
- Peduli isu (minoritas).
- Eksistensi digital (ingin viral).
Artinya, ada ruang untuk mengembangkan motivasi positif—misalnya, menjadikan mereka aktif di forum OSIS, kegiatan advokasi pendidikan, atau pelatihan literasi politik.
10. Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah keterlibatan berisiko?
- Sekolah: wajib memberikan literasi politik & digital, serta ruang aspirasi aman (debat, musyawarah pelajar).
- Orang tua: jalin komunikasi terbuka dan pantau aktivitas anak di media sosial saat isu politik memanas.
- Pemerintah & aparat: fokus pada edukasi dan perlindungan anak, bukan sekadar represif.
- Platform digital: moderasi konten ajakan demo yang membahayakan anak, serta memberi label konteks.
