Pembangunan nasional Indonesia sejak awal Reformasi diarahkan pada pencapaian kesejahteraan masyarakat secara merata. Namun, hingga memasuki tahun 2025, ketimpangan antara desa dan kota masih sangat terasa. Anak-anak di pelosok desa menjadi kelompok paling rentan karena mereka tumbuh dalam kondisi terbatas—baik dari segi pendidikan, kesehatan, teknologi, maupun akses sosial-ekonomi.

Baca juga : kajian lengkap manfaat buah pisang
Baca juga : Jejak Panjang karier Seorang Dewi Gita
Baca juga : Budi Gunadi Sadikin sosok Menteri Kesehatan
Baca juga : Kerjasama Solidaritas Keluarga
Baca juga : Gunung Kaba Potensi Wisata Alam Bengkulu
Baca juga : Inovasi Menghadapi Polusi Udara di Abad ke-21
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan masih terdapat lebih dari 6,1 juta anak usia 7–18 tahun yang tidak bersekolah atau putus sekolah. Angka ini menjadi sinyal kuat bahwa generasi penerus bangsa belum sepenuhnya mendapatkan hak pendidikan sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Potret Ketertinggalan Anak di Desa
1. Pendidikan
Ketertinggalan paling mencolok tampak pada bidang pendidikan. Beberapa fakta yang menguatkan antara lain:

http://www.innatonoyan.com
- Angka Anak Tidak Sekolah (ATS): Data Kemensos 2025 mencatat terdapat lebih dari 4 juta anak usia 7–18 tahun yang tidak sekolah atau putus sekolah. Dari jumlah tersebut, 2 juta lebih termasuk kategori lulus tidak melanjutkan (LTM), yakni anak yang lulus SD atau SMP tetapi tidak meneruskan ke jenjang berikutnya.
- Ketimpangan Regional: Jawa Barat, provinsi dengan jumlah penduduk terbesar, mencatat 658.831 anak tidak bersekolah, sementara Papua dan Nusa Tenggara Timur menghadapi persoalan akses fisik dengan sekolah yang jauh dari permukiman.
- Keterbatasan Guru: Kekurangan guru di Indonesia mencapai 1,3 juta orang pada 2024. Sebagian besar guru enggan ditempatkan di daerah pelosok karena keterbatasan fasilitas hidup dan insentif yang rendah.
- Infrastruktur Minim: Masih ada 3.323 sekolah tanpa listrik dan 27.650 sekolah tanpa akses internet. Kondisi ini membuat pembelajaran digital sulit diterapkan.
Ketimpangan ini diperparah dengan kondisi sosial ekonomi keluarga miskin yang sering kali menganggap pendidikan sebagai beban biaya, bukan investasi jangka panjang.
2. Kesehatan
Kesehatan anak di desa juga menghadapi tantangan serius.
- Stunting: Prevalensi stunting nasional pada 2024 tercatat 19,8%, turun dari 21,5% pada 2023. Meski terjadi penurunan, angka ini masih jauh dari target 14% pada 2029. Konsentrasi kasus stunting tertinggi berada di NTT, Papua, dan Sulawesi Barat.
- Akses Fasilitas Kesehatan: Banyak desa di pedalaman harus menempuh perjalanan berjam-jam untuk mencapai puskesmas. Kurangnya tenaga medis membuat pelayanan kesehatan tidak optimal.
- Gizi Buruk: Keterbatasan akses pangan bergizi dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai pola asuh memperburuk kondisi anak-anak desa.
- Imunisasi: Tingkat imunisasi dasar lengkap masih rendah di desa, terutama di wilayah terluar, karena terbatasnya distribusi vaksin dan tenaga kesehatan.
3. Infrastruktur dan Teknologi
Perkembangan teknologi digital di Indonesia belum merata.

- Internetisasi Sekolah: Hanya sekitar 33% guru dan siswa yang aktif menggunakan internet untuk pembelajaran meskipun ribuan sekolah telah terhubung melalui program Bakti Kominfo.
- Blank Spot Desa: Ribuan desa di Papua, Kalimantan, dan NTT masih mengalami blank spot sinyal, sehingga pembelajaran daring tidak dapat berjalan.
- Literasi Digital: Rendahnya kemampuan guru dan siswa dalam memanfaatkan teknologi memperlebar kesenjangan keterampilan abad ke-21.
4. Sosial-Ekonomi
- Kemiskinan Ekstrem: Menurut BPS, rumah tangga miskin ekstrem umumnya hanya berpendidikan SD atau tidak lulus SD. Situasi ini membuat anak-anak di desa sering kali ikut bekerja untuk membantu keluarga.
- Pekerja Anak: Di banyak desa, anak-anak harus bekerja di ladang, tambang rakyat, atau pasar tradisional.
- Rendahnya Mobilitas Sosial: Terbatasnya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan membuat anak desa sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.
Penyebab Ketertinggalan

- Ketimpangan Pembangunan: Infrastruktur dasar (jalan, listrik, internet) di desa tertinggal jauh dari perkotaan.
- Distribusi SDM Tidak Merata: Guru dan tenaga medis lebih terkonsentrasi di kota besar.
- Keterbatasan Anggaran: Daerah terpencil sering kali mendapat porsi anggaran pendidikan dan kesehatan yang lebih kecil.
- Faktor Geografis: Letak desa 3T (terdepan, terluar, tertinggal) membuat akses transportasi dan logistik sulit.
- Budaya dan Pola Pikir: Masih ada masyarakat yang menganggap sekolah tidak terlalu penting, terutama untuk anak perempuan.
- Lemahnya Koordinasi Pemerintah Daerah: Banyak daerah tidak memiliki program khusus untuk mengatasi ketertinggalan anak.
Dampak Jangka Panjang
Ketertinggalan anak desa akan berdampak besar terhadap pembangunan nasional:
- Rendahnya Kualitas SDM: Anak desa sulit bersaing dengan anak kota dalam dunia kerja modern.
- Pengangguran Muda: Survei BPS mencatat 22,25% Gen Z (usia 15–24 tahun) masuk kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training).
- Rantai Kemiskinan: Generasi yang tidak berpendidikan akan melanjutkan pola kemiskinan keluarganya.
- Potensi Desa Tidak Tergarap: Sumber daya alam desa melimpah, tetapi tanpa SDM unggul, desa tetap tertinggal.
Upaya Pemerintah
Beberapa program sudah dilaksanakan pemerintah, antara lain:
- Perpres 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
- Program Makan Bergizi Gratis (2025) yang menargetkan 19,5 juta anak dan ibu hamil.
- Pembangunan BTS 4G dan Internetisasi Sekolah oleh Bakti Kominfo.
- Rekrutmen Guru P3K untuk mengisi kekurangan tenaga pendidik.
- Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebagai bantuan biaya sekolah.
Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi kendala birokrasi, korupsi anggaran, serta kurangnya pengawasan.

Strategi Solusi Profesional
1. Pendidikan
- Penempatan guru berbasis insentif khusus di desa 3T.
- Pendirian Sekolah Rakyat atau Community Learning Center untuk anak putus sekolah.
- Program Sekolah Sepanjang Hari (Full Day School) dengan fasilitas makan siang bergizi.
- Penguatan PAUD sebagai fondasi literasi sejak dini.
2. Kesehatan
- Perluasan posyandu dengan tenaga kesehatan keliling.
- Edukasi gizi berbasis pangan lokal (contoh: sagu di Papua, jagung di NTT).
- Penyediaan air bersih dan sanitasi sebagai langkah preventif stunting.
3. Infrastruktur dan Teknologi
- Penggunaan panel surya untuk sekolah tanpa listrik.
- Internet satelit di desa terpencil.
- Pelatihan literasi digital untuk guru dan anak-anak.
4. Ekonomi dan Sosial
- Program beasiswa khusus anak desa miskin.
- Skema padat karya orang tua agar anak tidak putus sekolah.
- Kolaborasi pemerintah, swasta, dan NGO dalam membangun rumah baca digital.
Ketertinggalan anak di pelosok desa merupakan masalah multidimensi yang membutuhkan solusi terpadu. Data pendidikan, kesehatan, teknologi, dan ekonomi menunjukkan bahwa jutaan anak Indonesia masih jauh dari kesetaraan kesempatan dengan anak kota.
Jika masalah ini tidak ditangani serius, cita-cita Indonesia Emas 2045 akan sulit tercapai karena kualitas sumber daya manusia tidak merata. Oleh sebab itu, pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan lembaga internasional perlu bekerja sama memastikan tidak ada anak yang tertinggal. Desa bukanlah pinggiran pembangunan, melainkan pusat kehidupan bangsa.