Bagi banyak orang tua, tembok rumah yang dipenuhi coretan krayon, spidol, atau bahkan cat air adalah pemandangan yang tidak asing. Sering kali hal ini memicu emosi: jengkel, marah, bahkan putus asa karena dinding yang baru dicat indah berubah menjadi “kanvas tak beraturan.” Namun, sebelum buru-buru menilai perilaku ini sebagai kenakalan, penting dipahami bahwa corat-coret di dinding adalah bagian dari proses tumbuh kembang anak.

Baca juga : Atlético Nacional Raksasa Hijau Medellín
Baca juga : Gaya Hidup Dian Sastrowardoyo Karier Keluarga
Baca juga : Club Atlético Independiente Rey de Copas Argentina
Baca juga : wisata Patagonia Keajaiban Alam
Baca juga : Biografi Profesional Emil Elestianto Dardak
Fenomena ini terjadi di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Para psikolog anak menilai bahwa kebiasaan ini memiliki makna penting dalam perkembangan kognitif, motorik, hingga emosional anak.
Mengapa Anak Suka Corat-Coret Tembok?
1. Dorongan Alami untuk Mengekspresikan Diri
Sejak usia 12–18 bulan, anak mulai mampu memegang alat tulis sederhana. Mereka terdorong secara alami untuk meninggalkan jejak. Tembok, lantai, atau bahkan meja, semua dianggap media yang sah. Menurut Jean Piaget, tokoh psikologi perkembangan, anak pada tahap sensori-motor dan pra-operasional belum memahami aturan sosial secara penuh. Bagi mereka, menggambar di tembok sama sahnya dengan menggambar di kertas.
2. Tembok = Kanvas Raksasa
Kertas berukuran A4 atau buku gambar mungkin terasa kecil. Anak-anak sering merasa terbatasi oleh ukuran media tersebut. Tembok rumah menawarkan area luas, bebas, dan lebih menarik untuk dieksplorasi. Dengan bidang yang besar, anak bisa menggerakkan tangan lebih leluasa, melatih koordinasi tubuh, dan menuangkan ide tanpa terikat batas kecil.
3. Eksperimen Motorik dan Sensorik
Corat-coret bukan sekadar “coretan tak bermakna.” Gerakan menarik garis, membuat lingkaran, atau mencampur warna melatih motorik halus anak. Mereka juga belajar tentang tekstur: bagaimana rasanya spidol di dinding dibanding di kertas, atau krayon di tembok bertekstur kasar dibanding di papan tulis.
4. Komunikasi Nonverbal

http://www.innatonoyan.com
Banyak anak belum mampu mengungkapkan isi hati dengan kata-kata. Coretan bisa menjadi sarana komunikasi. Gambar rumah, lingkaran, atau bahkan goresan acak bisa memiliki makna emosional tertentu. Penelitian oleh Viktor Lowenfeld (ahli seni anak) menunjukkan bahwa anak sering menggunakan gambar sebagai “bahasa kedua” untuk mengekspresikan perasaan.
5. Pencarian Perhatian
Kadang corat-coret terjadi karena anak ingin diperhatikan. Mereka menyadari bahwa menggambar di tembok akan memicu reaksi orang tua. Reaksi negatif sekalipun tetap dianggap bentuk perhatian.
Fakta Penelitian tentang Anak dan Coretan
- Usia 2–4 tahun adalah fase paling sering anak mencorat-coret. Penelitian dari American Academy of Pediatrics (2017) menunjukkan bahwa 70% orang tua di Amerika melaporkan anak mereka pernah menggambar di dinding.
- Studi di Jepang (Journal of Early Childhood Research, 2019) menemukan bahwa anak yang diberi kesempatan menggambar bebas di ruang terbuka memiliki perkembangan motorik halus lebih cepat dibanding anak yang dibatasi hanya di kertas kecil.
- Menurut riset di Eropa, aktivitas mencoret meningkatkan aktivitas otak di bagian prefrontal cortex, yaitu area yang terkait dengan kreativitas dan perencanaan (University of London, 2015).
- Psikolog pendidikan menyatakan bahwa anak yang sering mendapat teguran keras saat mencorat-coret bisa tumbuh dengan rasa takut berekspresi. Sebaliknya, anak yang diarahkan dengan media alternatif cenderung lebih percaya diri dan kreatif di usia sekolah.

Dampak Positif Coretan Anak
- Melatih Kreativitas
Setiap garis dan bentuk adalah langkah awal menuju imajinasi. Bahkan coretan acak bisa menjadi fondasi kemampuan seni visual di kemudian hari. - Koordinasi Mata-Tangan
Menggambar membantu anak menguasai keterampilan motorik halus yang kelak berguna untuk menulis, merangkai benda kecil, hingga aktivitas sehari-hari. - Menyalurkan Emosi
Anak melampiaskan perasaan melalui gambar. Misalnya, garis tebal bisa menandakan kemarahan, sedangkan lingkaran warna-warni bisa mencerminkan kegembiraan. - Meningkatkan Rasa Percaya Diri
Anak merasa bangga melihat hasil coretannya di dinding. Meski bagi orang tua itu tampak berantakan, bagi anak itu adalah sebuah karya.
Dampak Negatif Coretan di Tembok
- Estetika Rumah Terganggu
Dinding penuh coretan bisa membuat rumah terlihat kotor dan tidak rapi. - Kerugian Finansial
Orang tua harus mengeluarkan biaya ekstra untuk mengecat ulang atau membeli cat anti-noda. - Kebiasaan yang Sulit Dihentikan
Jika dibiarkan tanpa arahan, anak bisa terbiasa mencoret di sembarang tempat, termasuk rumah orang lain atau fasilitas umum. - Risiko Konflik Orang Tua-Anak
Jika orang tua bereaksi dengan marah atau hukuman keras, hubungan emosional dengan anak bisa terganggu.
Cara Bijak Menyikapi
1. Sediakan Media Alternatif
- Whiteboard kecil, papan tulis dinding, atau kertas gulung yang ditempel.
- Buku gambar besar atau drawing pad.
- Cat air di kertas khusus agar anak merasa puas dengan warna.
2. Terapkan Aturan Konsisten
Ajarkan dengan kalimat sederhana:
“Tempat menggambar itu di papan, bukan di tembok.”
Konsistensi lebih efektif daripada sekadar melarang tanpa alternatif.
3. Libatkan Anak dalam Membersihkan
Ajak anak membersihkan coretannya. Hal ini melatih tanggung jawab sekaligus membuat anak memahami konsekuensi.
4. Gunakan Cat Washable
Di pasaran kini banyak cat dinding dengan teknologi easy clean. Noda spidol atau krayon bisa dilap dengan kain basah tanpa merusak cat.
5. Berikan Apresiasi
Saat anak menggambar di media yang benar, berikan pujian. Hal ini memperkuat perilaku positif.

Perspektif Psikologis
Menurut teori Erik Erikson, anak usia balita berada pada tahap autonomy vs shame and doubt serta initiative vs guilt. Pada fase ini, anak ingin mencoba hal baru, mandiri, dan bereksperimen. Bila orang tua menanggapi dengan dukungan (memberi media menggambar), anak tumbuh percaya diri. Sebaliknya, jika orang tua selalu melarang keras, anak bisa merasa bersalah atau takut berkreasi.
Contoh Kasus Nyata
- Kasus di Jakarta
Seorang ibu melaporkan bahwa anaknya berusia 3 tahun selalu menggambar di dinding ruang tamu. Alih-alih marah, ia menempelkan kertas gulung sepanjang 2 meter di dinding. Hasilnya, anak puas menggambar dan dinding tetap bersih. - Sekolah di Finlandia
Beberapa taman kanak-kanak di Helsinki menyediakan ruang khusus dengan dinding dilapisi papan tulis besar. Anak bebas menggambar di sana. Hasil riset menunjukkan anak-anak lebih tenang dan kreatif.
Tips Praktis untuk Orang Tua
- Jangan langsung marah. Ingat, anak tidak paham batasan seperti orang dewasa.
- Alihkan ke aktivitas seru. Misalnya, menggambar bersama di papan tulis.
- Gunakan bahasa positif. Hindari kata “nakal” dan ganti dengan “Ayo coba di sini, lebih bagus.”
- Hargai karya anak. Simpan hasil gambar terbaik di buku atau pigura.
Coretan di tembok bukanlah sekadar masalah rumah kotor. Ia adalah cermin dari proses tumbuh kembang anak: kreativitas, emosi, dan eksplorasi. Tantangan orang tua adalah menemukan keseimbangan: menjaga kebersihan rumah sekaligus tidak mematikan semangat berekspresi anak. Dengan pendekatan positif, media alternatif, serta aturan yang konsisten, orang tua bisa mengubah corat-coret menjadi sarana belajar yang berharga